Sawit Indonesia yang Terus Tumbuh


Surya Perkasa - 06 November 2015 21:19 wib

Pekerja mengangkut hasil panen kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara XIV, Bayondo, Kecamatan Tomoni, Luwu Timur, Sulsel. (foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang)

Metrotnews.com, Jakarta: Kelapa Sawit mendapat perhatian yang sangat besar dari pemerintah Indonesia. Terutama dalam masa 15 tahun terakhir. Terbukti, pertumbuhan industri CPO dari kelapa sawit kini menjadi salah satu produk kebanggaan Indonesia.
 
Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa kelapa sawit mengalami jatuh bangun yang terjadi dari sejak dibawa masuk ke Indonesia pada 1848 sebagai tanaman hias. Empat tanaman yang dibudidayakn di Buitenzorg, yang kini bernama Kebun Raya Bogor, kemudian diketahui dapat tumbuh subur dan berbuah lebat di iklim Indonesia.
 
Uji coba penanaman pohon ini kemudian dilakukan selama belasan tahun di beberapa wilayah Indonesia. Sawit terbukti bisa lebih cepat tumbuh di Indonesia. Jika di tempat asal indukan pohon berasal membutuhkan waktu belasan tahun, sawit di Indonesia hanya membutuhkan waktu sekitar 4 tahun hingga berbuah.
 
Pada tahun 1911, kebun sawit berskala besar kemudian dibangun di Sumatera Utara. Pengusaha Belanda pun ditawari untuk mengelola lahan secara besar-besaran selama 75 tahun dengan dasar Hukum Agraria yang dianut oleh Belanda saat itu.
 
Pemerintahan Soekarno kemudian meniadakan sistem perkebunan Belanda pada tahun 1945 dan mengambil alih perkebunan sawit di bawah pengelolaan Perusahaan Perkebunan Negara Baru. Tidak tercatat ekspansi sawit skala besar dilakukan pemerintahan Orde Lama.
 
Ekspansi sawit oleh negara mulai dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Lahan perkebunan sawit negara yang luasnya hanya 65,573 hektare pada 1967 meningkat menjadi 176,406 hektare pada 1975. Ekpansi besar-besaran sawit kemudian dilakukan pada sejak 1985.

 

Bahkan di masa akhir pemerintahannya, pemerintahan Presiden Soeharto menyiapkan jutaan hektare lahan baru di Timur Indonesia. Namun krisis ekonomi 1998 membuat industri sawit terdampak. Krisis minyak goreng di dalam negeri terjadi karena pengusaha lebih memilih mencari untung lewat ekspor, dan berujung keluarnya larangan ekspor CPO dari Presiden Soeharto.
 
Masa awal pascareformasi, pemerintah disibukkan reformasi sektor kehutanan atas tekanan dalam dan luar negeri. Kebijakan pengalihfungsian hutan dikaji ulang oleh Departemen Kehutanan tiga presiden di era reformasi. Konflik penguasaan lahan sawit antara pengusaha dan masyarakat setempat pun mulai banyak terjadi.
 
Pemerintahan yang mulai stabil di era SBY membuatnya mengeluarkan janji iklim investasi bagi swasta asing dan lokal. Terutama visinya untuk membuat CPO sebagai komoditas utama Indonesia. Target SBY untuk membuat sawit Indonesia mengalahkan Malaysia dapat tercapai sebelum politisi Demokrat itu meninggalkan Istana Negara.
 
Beragam aturan seperti Peraturan Pemerintah  nomor 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, PP nomor 15/2010 mengenai Penataan Ruang, dan PP nomor 18/2010 mengenai Usaha Budi Daya Tanaman menjadi beberapa produk aturan SBY untuk melanggengkan pengusaha sawit melakukan ekspansi.
 
Produksi minyak sawit dan produk turunannya pada akhir pemerintahan presiden SBY meningkat hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan saat pertama kali ia menjabat.

Kebijakan yang pro dengan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dan CPO ini memacu pertumbuhan perusahaan perkebunan dan CPO. Baik lokal maupun asing.
 
Pertumbuhan perusahaan yang bergerak di industri CPO ini bahkan melampaui perkembangan industri komoditas lain. Saat jumlah perusahaan komoditas lain terdampak oleh penurunan harga dan permintaan, perusahaan sawit justru terus bertumbuh dalam 7 tahun belakangan.
 


 
Semakin banyaknya Kini CPO Indonesia menguasai pasar dunia jika hanya memperhitungkan jumlah ekspor dan devisa yang ditawarkan.
 
Pajak Ekspor dan Gejolak 
 
Pemasukan resmi yang paling dinikmati negara dari industri sawit hanya berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB), dan Pajak Ekspor. Pajak ekspor merupakan pemasukan negara yang paling besar.
 
Pemerintahan SBY memberlakukan bea keluar CPO sebagai pengganti pajak ekspor sekitar tahun 2008. Pajak ekspor juga nilainya semakin naik dari tahun ke tahun.
 
Peneriman pajak ekspor melonjak tajam pada tahun 2006 dan 2007. Pemerintah menetapkan tarif ekspor sebesar 3 persen pada tahun 2006 dan 6 persen pada 2007. Akibat penetapan tarif yang berlipat ini, pendapatan negara dari CPO terus melonjak dari Rp982 miliar (2006), naik menjadi Rp3,8 triliun pada 2007.
 
Perubahan skema dari Pajak Ekspor menjadi Bea Keluar pada 2008 membawa pemasukan sebesar Rp12, 2 triliun untuk negara. Namun karena penurunan harga sawit, bea keluar Indonesia pada 2009 turun menjadi Rp508 miliar. Angka ini kembali naik pada 2010 menjadi Rp8 triliun.

Pada tahun 2013, pemerintah menaikkan patokan bea keluar dari tahun sebelumnya. Bea keluar yang dipatok 4,5 persen pada tahun 2012 dinaikkan menjadi 9 persen lewat Peraturan Menteri Keuangan nomor 75 Tahun 2012. Kelompok petani dan pengusaha sawit langsung berteriak
 
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Asmar Arsjad menyatakan keberatan dengan kenaikan bea keluar CPO tersebut. "Ini sangat memberatkan petani," kata Asmar seperti yang dikutip dari Koran Tempo edisi 31 Januari 2013.
 
Harga CPO dunia pun terus melonjak. Pemerintah kemudian kembali melakukan perubahan baru untuk Bea Keluar sawit. Pemerintahan SBY mematok Bea Keluar barus sebesar 13,5 persen dinilai semakin memberatkan pelaku usaha.
 
Pelaku usaha turunan kelapa sawit di Riau, mulai dari petani, pengusaha perkebunan dan pengolah hasil perkebunan kemudian melontarkan keluh kesahnya ke pemerintah daerah.
 
“Imbasnya tentu kepada masyarakat kecil, TBS mereka akan dihargai lebih murah dari harga yang seharusnya. Tentu, ekonomi kelas menengah ke bawah akan terganggu sekaligus diyakini akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional," Kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Zulher kepada media lokal, Minggu 6 April 2014.
 
Namun sawit tidak bisa dinikmati lama oleh negara. Imbas pelemahan ekonomi global di akhir masa pemerintahan SBY berdampak kepada menurunnya harga sawit dunia. Akibatnya permintaan akan sawit menurun. Pemerintahan SBY menerapkan bea keluar 0 persen di akhir masa jabatannya.
 
Kebijakan ini disambut baik oleh kelompok pengusaha sawit di tengah menurunnya harga referensi sawit dunia. Apalagi harga rata-rata CPO turun dari sekitar USD740 per ton menjadi sekitar US$650-US$660 per ton. Kebijakan ini memicu produksi CPO terus meningkat.
 
"Masih meningkat di Oktober, produksi juga melimpah," ujar Direktur Eksekutif Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan, Jumat (3/10/2014).
 
Presiden Joko Widodo yang baru memimpin Indonesia kemudian terus menerapkan bea keluar nol persen untuk menstimulus industri sawit Indonesia untuk ekspor. Pada Juli 2015, pemerintahan Jokowi menerapkan pungutan CPO (CPO fund) untuk pengusaha ekportir sawit.
 
Pemerintah membentuk BLU yang diberi nama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP Sawit) yang bertugas menghimpun dana pungutan untuk ekspor produk sawit atau CPO. Pungutan diberlakukan untuk setiap ekspor CPO sebesar USD50 per ton, termasuk varian dari produk turunan CPO mulai dari USD10 per ton hingga USD40 per ton.
 
Pungutan yang berlaku mulai dijalankan pada 16 Juli 2015 belum menunjukkan hasil yang bisa dirasakan manfaatnya. Kritikan ini dilontarkan salah satu pemain besar sawit sebulan setelah CPO Fund diberlakukan.
 
"Program biodiesel belum jalan. Revitalisasi belum jalan. Jadi, belum kelihatan dampaknya buat kami atas pungutan itu," kata Country Head Wilmar Indonesia Hendri Saksti, Jumat (7/8/2015).
 
Kendati belum merasakan manfaat dari pungutan tersebut, namun diperkirakan adanya pungutan itu akan membuat harga CPO mengalami kenaikan dibandingkan dengan harga CPO saat ini. Selain itu, pungutan ini diperkirakan juga akan mengangkat harga minyak sawit dan pr‎oduk turunan lainnya.
 
Kamar Dagang Indonesia kemudian meminta pemerintah menghentikan CPO Fund sementara. Selain dinilai dapat mematikan sawit Indonesia. Mengingat kondisi ekonomi yang bergejolak. Ditambah lagi banyak kebakaran lahan terjadi di Indonesia.
 
"Seharusnya pajak-pajak itu dihilangkan misalnya pajak (pungutan) sawit, ada yang harus setoran US$ 50 per ton. Hari ini, badan tersebut seharusnya tidak perlu bergerak," pungkas Wakil Ketua Umum Kadin Suryani SF Motik, Sabtu (12/9/2015).
 
Apa langkah selanjutnya Indonesia menanggapi sawit yang terus tumbuh dan berkembang?


Sumber: http://telusur.metrotvnews.com/read/2015/11/06/448368/sawit-indonesia-yang-terus-tumbuh

0 comments: